Mengenal Pola Tidur Bayi

Tidur pulas akan membantu perkembangan kecerdasan anak

Selasa, 9/3/2010 | 12:37 WIB

KOMPAS.com – Tidur amat penting bagi anak. Tidur memungkinkan tubuh beristirahat untuk memulihkan stamina. Tidur berkualitas memiliki peran krusial pada kondisi perkembangan kesehatan jiwa anak, disamping dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuhnya. Nah, bagaimana dengan bayi, seperti apa pola tidur yang baik untuknya?

Porsi tidur bayi baru lahir yang kurang lebih 18 jam sehari ini waktunya tidak menentu, mengingat jam biologisnya masih belum matang. Memasuki usia 2 bulan, pola tidur tersebut akan bergeser, namun waktunya pun belum menentu.

Masuk usia 3-6 bulan, jumlah tidur siang akan berkurang, kira-kira 3 kali dan akan terus berkurang. Pada masa ini, tidur bayi seringkali amat aktif, mereka bisa tersenyum, mengisap, dan tampak gelisah. Masuk usia 6-12 bulan, bayi hanya tidur siang 2 kali. Menjelang usia 1 tahun biasanya ia hanya perlu tidur siang sekali saja, sisanya akan dihabiskan pada malam hari. total jumlah waktu tidur berkisar antara 12-14 jam per hari.

Tidur bayi dibagi menjadi fase aktif dan non aktif. Pembagian ini berdasarkan gelombang otak. Fase non aktif bisa disamakan dengan fase non-REM pada orang dewasa dan fase aktif adalah fase REM. Pada bayi yang baru lahir, 50 persen dari tidurnya ada di fase aktif/REM. Ini menunjukkan pentingnya fase REM bagi perkembangan otak bayi. Dengan bertambahnya usia, tidur aktif akan semakin berkurang hingga pada dewasa yang hanya 20-25 persen saja. Pada tidur non aktif, bayi akan tampak tidur lelap, diam, dan amat tenang, hingga ada istilah sleep like a baby.

Untuk diketahui, kualitas tidur bayi tidak dapat dinilai secara kasat mata. Harus dilihat dengan alat pendukung. Tapi untuk mudahnya, saat bayi tidur dan kita melihat bola matanya bergerak-gerak di balik kelopak mata, berarti ia dalam fase tidur aktif.

Untuk diketahui, bai tidak mempunyai masalah tidur. Tetapi masa bayi adalah masa pematangan jam biologis, hingga penting bagi orangtua untuk mengenalkan kebiasaaan tidur yang baik padanya sejak sedini mungkin. Kenalkan padanya untuk beraktivitas di siang hari dan tidur di malam hari.

Narasumber: dr. Andreas A. Prasadja, RPSGT, Sleep Disorder Clinic RS Mitra Kemayoran, Jakarta Pusat.

(Tim Nakita)

link: http://female.kompas.com/read/xml/2010/03/09/12372210/mengenal.pola.tidur.bayi

Cantik Kok Ngorok ?

Sudah menjadi pandangan umum bahwa yang tidur mendengkur adalah pria. Sebenarnya tidak demikian. Wanita juga bisa menjadi pendengkur. Tetapi entah mengapa suara dengkuran wanita, umumnya lebih ‘sopan’ dari pada pria.

Masalah ngorok bagi wanita menjadi lebih berat karena jauh dari citra lembut dan cantik. Tetapi sebenarnya volume suara tidaklah penting bagi kesehatan. Yang penting justru henti nafas yang menyertai setiap dengkuran. Episode penurunan oksigen bisa menyebabkan berbagai gangguan kesehatan yang serius. Dan tahukah Anda bila mendengkur bisa menyebabkan obesitas?

Betul, sleep apnea menyebabkan proses tidur yang terpotong-potong akibat aktivitas otak yang terbangun singkat sebagai kompensasi rasa sesak. Sehingga menyebabkan penderitanya berada dalam kondisi kurang tidur (walau sudah cukup lama tidur). Kondisi kurang tidur ini mengakibatkan ketidak seimbangan hormonal yang meningkatkan nafsu makan serta gangguan metabolisme.

Gejala sleep apnea pada wanita tidaklah sejelas pada pria. Jika pria mendengkur keras dan mengeluhkan kantuk luar biasa, wanita biasanya hanya menceritakan keluhan cepat lelah, capek, tak bersemangat, merasa depresi, tekanan darah yang tinggi atau terlalu sering tidur siang.

Pada ibu hamil, mendengkur dapat menjadi tanda dari hipertensi yang dipicu oleh kehamilan (pre-eklamsia) dan keterlambatan pertumbuhan janin(1). Dari penelitian yang sama juga dinyatakan bahwa bayi-bayi yang lahir dari ibu pendengkur lebih sering mempunyai berat badan lahir yang rendah. Ini disebabkan oleh berkurangnya suplai oksigen pada janin, selama ibu tidur.

Ibu hamil dapat menderita OSA sebagai akibat dari kombinasi antara penambahan berat badan dan pembengkakkan saluran nafas atas. Kebiasaan mendengkur selama kehamilan dapat dianggap sebagai tanda peningkatan tekanan darah dan peningkatan resiko pre-eklamsia(2). Penanganan segera mendengkur, dapat mencegah terjadinya gangguan-gangguan pada masa kehamilan ini.

Sementara di usia yang lebih matang, kejadian sleep apnea tiga kali lebih sering pada usia paska menopause dibanding sebelumnya(3). Diduga, faktor hormonal juga berperan. Sebab pada wanita dengan terapi sulih horman, prevalensinya relatif lebih sedikit.

 

Sumber:

1.  Franklin et al, 2000

2.  Svanborg et al, 2007

3. Bixler et al, 2001